Mengungkap Persepsi Masyarakat Terhadap Konsep Guna Ulang

Diskursus pengelolaan sampah mengenalkan beberapa prinsip, beberapa diantaranya adalah 3R yakni Rethink, Reduce, Reuse. Ketiga langkah ini bukan sekadar jargon kampanye lingkungan, tetapi menyusun tahapan logis yang mendasari perubahan perilaku konsumsi manusia secara progresif. Dimulai dari rethink sebagai upaya merenungkan ulang cara kita hidup, memproduksi, dan mengkonsumsi; dilanjutkan dengan reduce, mengurangi kebutuhan akan sumber daya; dan akhirnya reuse, menggunakan kembali apa yang masih dapat dimanfaatkan.

Dalam praktiknya, penerapan prinsip 3R—rethink, reduce, reuse—memerlukan proses bertahap yang saling melengkapi. Rethink menjadi fondasi awal, mendorong masyarakat untuk meninjau ulang cara pandang terhadap konsumsi dan limbah. Reduce hadir sebagai upaya menahan laju konsumsi yang berlebihan. Namun di antara ketiganya, reuse sering kali menjadi pintu masuk yang paling konkret dalam kehidupan sehari-hari. Bukan karena dua prinsip lainnya tidak penting, tetapi karena reuse memberi ruang bagi masyarakat untuk memulai aksi nyata, sambil perlahan membangun kesadaran untuk berpikir ulang dan mengurangi secara lebih mendalam. 

Menariknya, masyarakat kita secara intuitif, sudah menangkap esensi ini. Banyak yang melihat guna ulang sebagai “Menggunakan kembali barang-barang (terutama kemasan) dengan tujuan mengurangi volume sampah”  atau sebagai “Salah satu upaya pengurangan sampah di mana individu memperpanjang masa pakai barang”. 

Apa yang sesungguhnya dipahami masyarakat mengenai prinsip guna ulang?

Sebuah pengumpulan data singkat melalui pre-test dan post-test dalam sebuah kegiatan seminar yang dilaksanakan oleh PlastikDetox pada tahun 2024 dengan topik “Merajut Tren Kemasan Guna Ulang untuk Bumi” mengungkapkan kenyataan menarik. Data yang didapatkan menunjukkan pemahaman partisipan mengenai konsep guna ulang (reuse) berevolusi dari yang awalnya bersifat umum menjadi lebih terstruktur. Hal ini terbukti dari lonjakan persentase partisipan yang menyebut kata “konsep” dari hanya 6.1% pada pre-test menjadi 27.5% pada post-test. Selain itu, persepsi terhadap hambatan utama juga bergeser, dengan “edukasi” sebagai tantangan meningkat dari 23.7% ke 42.1% dan “kebiasaan” naik dari 6.8% ke 21.1%.

Ketika berbicara tentang “guna ulang,” sebagian besar dari responden punya gambaran yang sama yakni tentang memanfaatkan kembali suatu barang, lebih dari sekali. Entah itu untuk fungsi aslinya—seperti tumbler yang setia mewadahi minuman atau tote bag yang selalu siap menampung belanjaan—maupun untuk fungsi yang sama sekali baru, seperti mengubah botol bekas menjadi wadah kreatif. Definisi ini tercermin jelas dalam respons pra-seminar: “Guna ulang adalah menggunakan lagi suatu barang lebih dari sekali. Ini mencakup penggunaan kembali secara konvensional di mana barang dipakai lagi dengan fungsi yang sama, dan penggunaan kembali di mana barang dipergunakan dengan fungsi yang berbeda”. Setelah seminar, pemahaman ini semakin mengkristal menjadi “Konsep menggunakan kembali dan mengurangi barang sekali pakai”, diperkuat dengan contoh konkret seperti “konsep menggunakan barang kembali, seperti contoh tumbler yang bisa kita gunakan kembali dalam fungsinya sebagai tempat air minum”.

Namun, di balik pemahaman inti yang konsisten, ada nuansa menarik yang perlu kita perhatikan. Beberapa responden memperluas definisi guna ulang dengan mengaitkannya pada pengurangan limbah secara umum, keberlanjutan lingkungan, atau bahkan, secara keliru, menyamakannya dengan daur ulang (recycling). Ada yang menyebutnya sebagai “Konsep penggunaan kembali barang-barang yang sebelumnya dianggap sampah, untuk mengembalikan dan memaksimalkan nilai gunanya, sebelum benar-benar berakhir sebagai sampah atau material daur ulang”, sementara yang lain secara lugas menyatakan “Daur ulang manfaatkan kembali”.

Pergeseran makna antara “guna ulang” dan “daur ulang” ini adalah fenomena umum yang sering kita temui. Meskipun keduanya sama-sama berkontribusi pada pengurangan limbah, mekanisme dan dampak lingkungannya berbeda jauh. Guna ulang secara langsung memperpanjang masa pakai produk, mengurangi kebutuhan produksi baru, sedangkan daur ulang melibatkan pemrosesan bahan menjadi produk baru. Artinya, produk asli dihancurkan terlebih dahulu untuk diambil material dasarnya, yang kemudian diolah kembali menjadi produk yang sama sekali berbeda atau sejenis. Kebingungan ini, seperti yang terlihat dari pernyataan “Guna Ulang adalah sesuatu barang yang bisa digunakan berkali kali atau barang yang sudah tidak terpakai bisa di daur ulang dan digunakan kembali”, menunjukkan bahwa masyarakat mungkin belum sepenuhnya memahami keunggulan spesifik guna ulang dalam hierarki pengelolaan limbah. 

Sebuah pengumpulan data sederhana ini menunjukkan bahwa masyarakat masih terjerat dalam celah pengetahuan signifikan mengenai guna ulang, terbukti dari jawaban yang diberikan yakni “kurang edukasi dan kesadaran” sebagai hambatan utama. Kesenjangan ini bukan hanya masalah informasi, melainkan juga motivasi, ketika urgensi lingkungan atau manfaat personal tidak sepenuhnya dipahami, menghambat niat baik untuk bertindak. 

Selain itu, preferensi kuat terhadap kenyamanan kemasan sekali pakai, yang tercermin dari keluhan “malas” dan “tidak praktis”, menciptakan inersia perilaku yang sulit diubah. Budaya instan dan kebiasaan yang sudah mengakar membuat guna ulang dianggap merepotkan. Oleh karena itu, diperlukan pergeseran fokus dari sekadar edukasi menjadi inspirasi perubahan perilaku yang menyoroti manfaat nyata dan membuat guna ulang semudah atau bahkan lebih nyaman daripada opsi sekali pakai, melalui desain intuitif dan sistem yang mulus.

Hambatan lain yang signifikan adalah keterbatasan infrastruktur dan regulasi, seperti minimnya refill station dan belum masifnya sistem pendukung, menunjukkan bahwa kesediaan individu tidak cukup tanpa dukungan sistemik. Bersamaan dengan itu, faktor ekonomi menjadi penghalang krusial; persepsi bahwa produk guna ulang “lebih mahal” menciptakan kendala inklusivitas, berpotensi membuat pilihan berkelanjutan tidak dapat diakses secara luas. Terakhir, kekhawatiran higienis dan kualitas produk guna ulang, seperti isu kebersihan dan potensi mikroplastik, menunjukkan defisit kepercayaan konsumen. Implikasinya jelas: niat baik saja tidak cukup. 

Diperlukan pendekatan multi sektor yang komprehensif, melibatkan pemerintah dan sektor swasta, untuk membangun ekosistem guna ulang yang kuat, mengatasi masalah perbedaan biaya, dan membangun kepercayaan konsumen melalui transparansi kualitas dan keamanan.

Penulis: Kein Surung 
Editor: Jodi Mahendra
Profil Penulis: Kein adalah seorang relawan di PlastikDetox yang memiliki ketertarikan pada isu-isu lingkungan dan perubahan sosial. Lewat tulisan, Kein mencoba menuangkan kegelisahan, harapan, serta pencarian akan makna hidup yang terus berkembang.